Ramadhan selalu memberi inspirasi buatku. Ada sejuta kisah, pengalaman, hikmah dan ilmu yang tak habis untuk dipelajari dan dibagi. Seperti kali ini, ada rasa ingin tahu, apa dan bagaimana keberadaan Islam di wilayah minoritas ?? Let's cekidot !!!
1. Islam di Rusia
Islam masuk ke Rusia pada pada tahun 992 Masehi, ketika sekelompok etnis Rusia yang hidup di Siberia, yang disebut Bulgar, memeluknya dan kemudian menyebarkannya ke seluruh Rusia. Diperkirakan jumlah Muslim di Rusia sekarang lebih dari 30 juta orang, meskipun statistik sejak setengah abad lalu mengatakan jumlah kaum muslimin tidak melebihi 20 juta orang. Bahkan, ada beberapa republik dalam Federasi Rusia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Tatarstan, Chechnya, Bashkortostan, Dagestan, Ingushetia, Kabardino-Balkaria, Karachay-Cherkessia, dan lain-lain. Jumlah Muslim di ibu kota Moskow sekarang lebih dari satu juta orang, dan mereka menderita masalah yang secara umum dialami oleh masyarakat Rusia, terutama masalah ekonomi.
Islam masuk ke Rusia pada pada tahun 992 Masehi, ketika sekelompok etnis Rusia yang hidup di Siberia, yang disebut Bulgar, memeluknya dan kemudian menyebarkannya ke seluruh Rusia. Diperkirakan jumlah Muslim di Rusia sekarang lebih dari 30 juta orang, meskipun statistik sejak setengah abad lalu mengatakan jumlah kaum muslimin tidak melebihi 20 juta orang. Bahkan, ada beberapa republik dalam Federasi Rusia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Tatarstan, Chechnya, Bashkortostan, Dagestan, Ingushetia, Kabardino-Balkaria, Karachay-Cherkessia, dan lain-lain. Jumlah Muslim di ibu kota Moskow sekarang lebih dari satu juta orang, dan mereka menderita masalah yang secara umum dialami oleh masyarakat Rusia, terutama masalah ekonomi.
Kaum Muslimin Rusia terbagi
dalam 14 wilayah administratif, terletak di dua wilayah geografis
politis Rusia yang sangat rawan konflik. Enam republik dan satu wilayah
administratif berada di Rusia tengah, berbatasan dengan Kazakhstan; dan
tujuh republik lain di Kaukasus Utara berbatasan dengan Georgia,
Azerbaijan, Armenia, Turki dan Iran.
Menurut United States Department of State, terdapat sekitar 21-28 juta jumlah penduduk Muslim di Rusia,
sekurang-kurangnya 15-20 persen dari 142 juta jumlah penduduk negara
ini dan membentukkan agama minoritas yang terbesar. Masyarakat besar Islam dikonsentrasikan di antara warga negara minoritas yang tinggal di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia: Avar, Adyghe, Balkar, Nogai, Orang Chechnya, Circassian, Ingush, Kabardin, Karachay, dan banyak bilangan warga negara Dagestan. Di Volga Basin tengah ada penduduk besarTatar dan Bashkir, kebanyakan mereka Muslim. Banyak Muslim juga tinggal di Perm Krai dan Ulyanovsk, Samara, Nizhny Novgorod, Moscow, Tyumen, dan Leningrad Oblast (kebanyakannya kaum Tatar).
Siapakah Muslim Rusia?
Muslim Rusia adalah bagian dari Muslim Soviet Rusia, terdiri dari kelompok yang heterogen, mereka sama sekali berbeda dalam etnis, bahasa dan budaya bahkan mereka berbeda dalam interaksinya dengan Islam. Dan etnis yang beragam ini kemudian disertai dengan keanekaragaman bahasa, dan masing-masing bahasa memiliki dialek yang banyak. Bahasa Arab diajarkan di sekolah Dasar dan madrasah-madrasah, tujuan utamanya adalah untuk membaca Al-Qur’an dan memahami artinya. Mereka tidak bisa menulis dan berbicara bahasa Arab, kecuali orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan tinggi. Sama halnya dengan bahasa Persia, yang merupakan kunci lain untuk mengakses ilmu-ilmu Islam. Pada awal-awal abad ini, bahasa Rusia menjadi “bahasa pemahaman” antara masyarakat Uni Soviet.
Kemudian secara luas, umat Islam di Uni Soviet terkonsentrasi -walaupun tidak menyeluruh- di Asia Tengah, yaitu di daerah yang dibatasi oleh Laut Kaspia di barat, Cina di timur, Turki, Iran dan Afganistan di selatan. Masing-masing bersebelahan dengan Pakistan dan India, akan tetapi ini bukan fakta, karena lebih dari separuh Muslim di Uni Soviet sudah tinggal di daerah Asia Tengah. Sisanya menyebar di seluruh wilayah Uni Soviet, terutama di Rusia. Di Rusia, ada lima republik otonom Muslim yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu Republik Tatarstan, Republik Dagestan, Republik Bashkiria (Bashkortostan), Republik Kabardino-Balkaria dan Republik Chechnya, ditambah umat Islam yang ada di republik lain dengan penduduk mayoritas Kristen, seperti Republik Ossetia Utara, Republik Mari El, Republik Udmurtia, juga di republik lain dimana umat Islam menjadi warga negaranya atau membentuk komunitas Islam.
Penyebaran Islam di Rusia
Islam masuk ke Rusia dibawa para pedagang Muslim Arab dari wilayah Kaukasus dan tiba di Moskow dari utara bukan dari selatan seperti yang diduga beberapa sejarawan, mereka berpendapat bahwa Islam datang ke Moskow dari selatan, sebagai jalan paling mudah untuk gerakan kafilah pedagang. Sebab, suku-suku Cossack Rusia yang telatih untuk berperang, telah berdiri menentang penyebaran Dakwah Islam dan pengaruh Islam yang merayap menuju jantung Rusia.
Hal itu kemudian memaksa para pedagang Muslim dan para da’i untuk melintasi stepa Asia Tengah menuju Siberia, dengan bantuan kaum Tatar yang telah masuk Islam dan mendapat petunjuk kepada agama yang haq sejak abad kesembilan Masehi di Kerajaan mereka, Kerajaan Volga Bulgaria Timur, yang sekarang menjadi tanah air mereka. Daerah ini sebagian besar telah memeluk Islam pada abad kesepuluh, dan pada abad 11 dan 12, Islam menyebar di wilayah Ural, yang sekarang bernama Republik Bashkiria (Bashkortostan). Berkat para pedagang Muslim dari Arab, Iran dan Turki Islam kemudian menyebar ke berbagai bagian lain wilayah Rusia.Kaum Muslim saat ini, telah menjadi kekuatan baru di sekitar Rusia, dari Siberia di sebelah utara dan timur laut ke arah selatan.
Islam tiba di Moskow sekitar tahun 1200 Masehi, ketika itu, ibukota kerajaan Muslim ada di kota Kazan. Saat itu, Moskow membayar pajak kepada Kazan. Kazan tetap menjadi ibukota kaum muslimin sampai tahun 1552, ketika Tsar Rusia Ivan The Terrible berhasil menduduki dan menghancurkan Kazan, membakar masjid, memindahkan qubah-qubah indah ke Kremlin Moskow dan Red Square, yang masih ada sampai hari ini. Kemudian ia menduduki kota Astrakhan pada tahun 1556, Siberia Barat tahun 1598, dan pada akhir abad keenam belas tiba di daerah-daerah Muslim di Kabordino dan Chechnya. Sejak saat itu, Rusia memulai peperangan mereka melawan kaum muslimin, mereka melarang kaum muslimin melakukan praktek keagamaan dan memaksa mereka untuk mengikuti kebiasaan dan tradisi Rusia. Semua itu dilakukan dalam rangka me-rusia-kan kaum muslimin, jika tidak dikatakan: mengkristenkan mereka. Mereka memperlakukan kaum muslimin dengan kejam, menimpakan berbagai siksaan, merampas kekayaan mereka dan memperkenalkan undang-undang hukuman untuk memaksa penduduk setempat agar menolak agama Islam. Akan tetapi, mereka tidak berhasil dalam proyek ini.
Mayoritas Muslim tetap mengikuti agama mereka, kekejaman Rusia tidak mampu menghentikan penyebaran Islam. Dan sungguh sebuah paradoks yang aneh, sebaliknya Islam mencapai kemajuan baru di paruh kedua abad 18, pada masa pemerintahan Ratu Rusia, Catherine II, dengan berubahnya kebijakan Rusia terhadap umat Islam yang hidup dalam perbatasannya. Saat itu, kaum muslimin mencicipi kebebasan. Pada tahun 1764, propaganda toleransi beragama menguat, dan pada tahun 1767 pengusiran penduduk Tatar dari kota mereka, yaitu Kazan, dicabut pemerintah. Pemerintahan menuju tahap baru pada tahun 1773 dengan memberikan Tatar Volga kebebasan beragama, hak untuk membangun masjid dan sekolah Al-Quran. Pedagang Volga kemudian menjadi mediator yang sangat baik antara Tsar Rusia dan Asia Tengah. Mereka juga bertindak sebagai da’i dan muballigh, membangun masjid, sekolah dan membawa Islam kepada orang-orang yang masih semi-politheis di Bashkiria dan Siberia Barat.
Kebijakan Tsar Rusia ini bukan didasari karena kecintaan terhadap umat Islam, tetapi kebijakan yang didorong kepentingan Rusia untuk memperluas pengaruh dan kontrol atas daerah tetangga, karena ia menyadari kemungkinan untuk memanfaatkan masyarakat Muslim yang berada di Rusia, sehingga kehadiran Rusia di Asia Tengah dapat diterima bahkan diinginkan di wilayah itu. Hal itulah yang mendorong para penguasa Rusia untuk memperhatikan kekuatan politik umat Islam yang tinggal di Tsar Rusia pada saat itu, pemerintah mulai mencoba untuk mendapatkan dukungan mereka, didirikanlah lembaga sebagai pusat Fatwa di Renburg (kemudian pindah ke Ufa) pada 1788. Setelah itu, dibentuk tiga lembaga lain untuk Penerbitan Fatwa dalam abad berikutnya, satu lembaga pada 1831, dan dua lainnya pada tahun 1872. Lembaga-lembaga ini sejenis hai’ah ulama (institusi ulama), yang ada di pemerintahan Utsmani. Lembaga ini memiliki wewenang dalam beberapa aspek hukum perdata, bertanggung jawab atas kaderisasi ulama, pemeliharaan Wakaf dan publikasi buku-buku keagamaan yang tidak dibolehkan terbit sebelum tahun 1800.
Setelah lima tahun berlalu, tepatnya pada tahun 1806, sekitar 26.000 buku dicetak, termasuk 1500 salinan al-Qur`an, publikasi ini semakin meningkat ketika kaum muslimin diizinkan menggunakan mesin cetak di pertengahan abad itu. Saat itu, para ulama dan agamawan diwajibkan untuk mendaftar secara resmi, sehingga dari sudut pandang pemerintah, mereka dianggap sebagai perwakilan Islam yang diakui dan berada di bawah kontrol Kekaisaran Rusia. Sebagai imbalannya, mereka menikmati berbagai keuntungan, termasuk pembebasan pajak dan dinas militer, dan anak-anak mereka menikmati hak-hak yang dinikmati oleh anak-anak bangsawan. Namun di sisi lain, mereka memperlihatkan loyalitas kepada pemerintah, meskpun secara formalitas. Demikianlah karakter lembaga Islam dan dampaknya di kalangan umat Islam pada era kekaisaran, sampai meletusnya kebebasan beragama di Rusia pada tahun 1905, sebuah kesempatan bagi Islam memulai sebuah fase baru, dan situasi ini berlanjut hingga sekitar dua puluh tahun.
Islam di Bawah Kekuasaan Komunis
Ketika Perang Dunia Pertama pecah, kaum Muslimin berhasil menduduki posisi yang terhormat di kekaisaran Rusia, atas apa yang telah mereka persembahkan dalam perang untuk kepentingan negara mereka. Akan tetapi, kondisi ini segera berubah setelah komunis mengkudeta pemerintahan. Kondisi umat Islam sangat berbeda dengan kondisi pada akhir era Kekaisaran Rusia. Para penguasa Komunis Soviet berbeda sikap, karena tujuan utama komunis adalah untuk memberantas agama dalam segala bentuknya, yang dianggap sebagai “candu masyarakat”, menurut istilah salah seorang pemimpin mereka.
Dimulailah serangkaian panjang penindasan agama, penerapan langkah-langkah memusuhi Islam, dan dapat dikatakan bahwa selama era Soviet, Islam telah menelan berbagai bentuk permusuhan Komunis terhadap agama secara umum; masjid berubah menjadi toko-toko, kafe, kursus tari dan bioskop, padahal pada tahun 1912, di Rusia saja, kaum muslimin memiliki lebih dari 26.000 masjid, dan pada tahun 1941 tidak ada masjid yang tersisa kecuali sekitar 1.000 saja, pengadilan syariah sepenuhnya ditutup pada tahun 1927 dan sistem wakaf dihapus pada tahun 1930. Sementara tulisan Arab dihapus pada tahun yang sama, sekolah agama ditutup, institusi ulama dibubarkan dan banyak dari mereka yang kemudian dieksekusi. Kaum muslimin tidak diperbolehkan untuk melakukan haji, sistem pemeliharaan babi secara kolektif mulai diberlakukan di tanah-tanah kaum muslimin, publikasi literatur agama dicekal, ibadah puasa menjadi hal yang hampir mustahil, upacara keagamaan dan peringatan peristiwa bersejarah dalam Islam dilarang dalam bentuk apapun.
Partai Komunis di Rusia melihat Islam sebagai kekuatan yang bersebrangan, agama dan iman adalah hambatan menuju komunisme, dan dia harus cepat-cepat bekerja untuk menghancurkan dengan propaganda dan informasi yang bersebrangan, bahkan, jika diperlukan, bisa juga menggunakan jalur administrasi dan kepolisian. Dengan cara itulah para pemimpin Bolshevik melihat Islam sejak awal masa kekuasaannya, sebuah posisi yang disokong oleh Lenin, seorang musuh abadi bagi agama. Serangan Komunis terhadap agama Islam membentang sejak tahun 1928 sampai deklarasi Perang Dunia II. Serangan fisik ini diiringi dengan berbagai propaganda yang sangat anti Islam, bahkan kemudian terkoordinasikan sehingga mencapai dampak maksimal, digawangi oleh aktivis serikat pekerja anti Tuhan “Sans-Dieu”, yang didirikan pada tahun 1925, serta berbagai media dan organisasi negara serta lembaga pemerintah komunis.
Perlu juga untuk disebutkan di sini beberapa kutipan dari Ensiklopedia Mini Soviet dalam Volume IV halaman 879-880, pada subjek “Islam”, yang menjelaskan posisi resmi pemerintah Rusia terhadap agama Islam, seperti: “Islam pada masa kekaisaran Rusia Tsar memiliki kedudukan yang tinggi dan dipergunakan sebagai alat oleh kaum kapitalis. Setelah Revolusi Oktober, Islam kemudian memegang bendera anti-revolusioner. Dan sebagai efek dari pembangunan sosialisme dan pertumbuhan ateisme, bangsa ini harus dibebaskan dari penindasan Islam yang telah mengkronis, yang menjadi ideologi orang kaya dan musuh revolusi.”
Dalam ensiklopedia utama Soviet “Ensiklopedia Bolshevik” edisi kedua Volume XVIII halaman 516-519, pada subjek “Islam”, “Islam, seperti semua agama lainnya, selalu memainkan peran oposisi, karena merupakan alat penganiayaan secara spiritual kelas pekerja lokal, dieksploitasi oleh para penjajah asing dari masyarakat Timur Tengah…
Musuh-musuh internal revolusi dan kaum imperialis asing menggunakan
Islam untuk memerangi negara Rusia Soviet setelah kemenangan komunis
pada Revolusi Oktober, sepanjang perang saudara dan intervensi asing…
Demikian pula pihak-pihak lain mencoba mendapatkan keuntungan dari
Islam. karena itu, sosialisme terus berupaya memeranginya sepanjang era
konstruksi di Rusia. Saat itu, ulama Muslim memimpin perjuangan kelas
melawan legislasi Soviet dalam bidang keluarga, pernikahan, dan
memperjuangkan pembebasan perempuan dan membela hak mengenakan jilbab.
Selain itu, mereka menggunakan semua propaganda media terhadap agama Islam, yang disirkan melalui radio dan film anti agama, termasuk banyak film yang mengejek Muslim di Rusia, membuat olok-olok agama mereka dan menunjukkan bahwa Islam adalah penyebab kebekuan pikiran, keterbelakangan dan penderitaan. Film itu juga memperlihatkan berbagai ritual secara histeris, sehingga menjadi bahan tertawaan dan ejekan yang parah, seperti tata cara wudhu, shalat, haji dan lain-lain.
Umat Islam terus menanggung semua penidasan mulai dari terorisme, pengintaian dan pelecehan, sampai pada Perang Dunia II, dimana terjalin kesepakatan antara pemerintah Rusia dan institusi Islam, keadaan ini terus berlanjut selama era Stalinis pasca perang. Pada bulan Juli 1942, Mufti Rusia dan Eropa, Abdul Rahman Rasulaev, menjalin hubungan dengan Stalin, menguatkan kesepakatan dan berjanji bahwa Muslim akan mendukung upaya perang dan itulah yang terjadi. Dengan demikian, berhentilah propaganda anti-Islam secara relatif, demikian pula penderitaan dan teror sedikit mereda, Negara dengan Islam berhubungan secara resmi melalui bimbingan negara, terutama setelah pembentukan banyak lembaga Islam. Situasi ini terus berlanjut sampai kematian Stalin, dan ini adalah periode yang melegakan bagi kaum muslim Rusia.
Kemudian pada era Khrushchev, prinsip “back to Lenin” mengakhiri era rekonsiliasi. Ia meluncurkan propaganda baru melawan Islam, yang berlangsung dari tahun 1954 sampai tahun 1964. Pada masa itu, sebagian besar masjid yang tadinya terbuka untuk ibadah dan tempat-tempat ziarah dan kunjungan ditutup. Ia juga meluncurkan siaran pers, radio, televisi dan bioskop dan kampanye yang sangat intens menyerang agama.
Setelah era Khrushchev jatuh, hubungan antara pemerintah dan umat
Islam memasuki fase baru, dimana serangan terhadap agama Islam sedikit
mengendor, dan propaganda memusuhi Islam mengambil karakter baru yang
lebih beraroma ilmiah, pemerintah meyakinkan bahwa serangan terhadap
agama dan ulama adalah tidak begitu membuahkan hasil, karena itu,
serangan melawan Islam dilahirkan ke dalam tataran ideologis sesuai
dengan ideologi Marxisme – Leninisme yang pada dasarnya anti agama,
karena itu, Partai Komunis tidak bisa terus bersikap netral terhadap
Islam.
Perbedaan antara era Leninis, Stalinis dan era lain berikutnya hanyalah dalam metode yang digunakan oleh pemerintah Rusia untuk mempercepat penghapusan agama dan menghancurkannya. Akan tetapi, meskipun berbagai upaya sudah dilakukan melalui propaganda media, tekanan dan teror, pemerintah Rusia tetap tidak puas dengan hasil yang dicapai dari berbagai upaya ini, dan mengumumkan kegagalan propaganda dan media diarahkan terhadap Islam. Bahkan, sebaliknya, serangan yang ditujukan terhadap Islam memunculkan fenomena lain. Sebagai contoh kami kemukakan sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1978 di Republik Chechnya, Rusia. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hanya 20 % dari rakyat Chechnya saja yang terpengaruh propaganda media yang memusuhi Islam, sedangkan 80 % dari populasi mereka yang tersisa justru bersikap antipati terhadap propaganda anti agama, atau bersikap acuh tak acuh.
Muslim di Rusia Setelah Runtuhnya Uni Soviet
Masa ini, setelah runtuhnya komunisme dan terbebasnya rakyat Uni Soviet dari kungkungan ateisme dan politik anti Tuhan, kaum muslimin yang tinggal di Rusia merindukan masa-masa dahulu, mereka merindukan kembali kepada pokok-pokok Islam, dan masa-masa penyebaran Islam sebelum jatuhnya Kazan, Katedral Islam di Rusia, di tangan Ivan The Terrible. Setelah 500 tahun hidup dalam ketidakadilan, penindasan, kristenisasi dan pengkafiran, kaum Muslimin sekarang terbebaskan, dan mereka ingin membangun masa depan mereka berdasarkan Islam yang benar, jauh dari kekuasaan kaisar dan kaum ateis. Mereka menegaskan sebuah fakta penting bahwa mereka adalah kaum Muslim bangga dengan keislamannya, dan mereka memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan berhak untuk menikmati hak-hak mereka di negeri Islam mereka.
Sebanyak 20 juta Muslim di Rusia, memendam kerinduan dan keinginan kembalinya Islam kepada mereka, meskipun tidak pernah terucap keluar hati mereka, meski komunis selalu berupaya untuk membunuh Islam dalam pikiran, jiwa dan manifestasi kehidupan. Situasi baru ini tentu saja memerlukan lembaga-lembaga dan sentral yang mampu memecahkan masalah, memenuhi kebutuhan umat Islam, menganalisa berbagai kejadian mutakhir di Rusia dan memberikan pandangan mereka mengenai isu-isu penting bagi umat Islam. Masalah-masalah muslim Rusia secara umum begitu banyak dan membutuhkan kerjasama serta dukungan tanggung jawab setiap Muslim, terutama Negara-negara Islam.
Tantangan Masa Kini dan Masa Depan
Tujuh puluh tahun pemerintahan komunis adalah masa-masa paling berat
yang dialami kaum muslimin. Mereka dibelenggu secara intelektual,
sosial, dan bahkan untuk mengerjakan ritual keagamaan. Sementara
sekarang, mereka sangat membutuhkan adanya orang yang akan mengajarkan
mereka bagaimana tatacara wudhu, kemudian shalat dan kewajiban-kewajiban
pokok lain yang diperintahkan Islam kepada para pengikutnya.
Selain itu, ada pula beberapa kelompok muslim di Rusia yang
menyampaikan risalah Islam di beberapa desa dan menjelaskan
prinsip-prinsip Islam serta tujuannya. Kelompok-kelompok ini juga
mendistribusikan buku-buku Islam dan mendirikan kemah bagi pemuda Muslim
untuk mendorong mereka menghafal Al-Qur’an sebagai upaya mengikat
generasi muda dengan agama Islam.
Saat ini, di Rusia terdapat sekolah Islam di bawah pengawasan lembaga keagamaan dengan kurikulum pengenalan agama Islam. Selain itu, materi diajarkan untuk anak-anak kaum muslimin dianggap sebagai bahasa asing; bukan bahasa Inggris, Jerman atau Perancis, hal ini terjadi di sekolah-sekolah di Republik Chechnya dan Tatarstan.
Dengan demikian, mahasiswa muslim diharamkan belajar bahasa asing,
bagi mereka yang ingin mempelajari ajaran agama Islam. Sementara untuk
orang-orang Kristen, mereka tidak mengalami hukum yang tidak adil ini,
mereka menerima ajaran-ajaran Kristen disamping itu juga mereka bisa
mempelajari bahasa asing.
Pada tahun 1992, upaya umat Islam di Rusia mencapai puncaknya dengan mendirikan lembaga pusat terpadu untuk organisasi-organisasi keagamaan dan pusat-pusat Islam di seluruh Rusia yang diberi nama “Dewan Tertinggi Koordinasi Lembaga Keislaman di Rusia. “
Sejak tanggal tersebut, Dewan berfungsi untuk menyatukan upaya dan
mengkoordinasikan kegiatan lembaga-lembaga Islam dan seluruh Federasi
Rusia, negara-negara independen dan Negara Baltik. Selain itu Dewan memberikan dukungan kepada
Pusat-pusat kajian Islam baru di semua daerah untuk aktif membimbing
kaum muslimin di semua bidang kehidupan dan membangun sebuah masyarakat
Islami berdasarkan akidah yang lurus dan semangat persaudaraan.
2. Islam di Tibet
Ketika Raja Tibet yang bergelar Dalai Lama ke-5 berkuasa, Muslim Tibet
mendapat perlakuan istimewa. Salah satunya, Muslim Tibet diizinkan
menjalankan urusannya sesuai dengan syariah.
Tibet bergolak. Kerusuhan dan kekerasan tengah melanda salah satu provinsi di Republik Rakyat Cina (RRC) itu. Meski Islam hanyalah agama minoritas di wilayah pegunungan Himalaya itu, secara historis bangsa Tibet dan Islam ternyata memiliki hubungan yang erat. Sejak abad ke-8 M, umat Islam telah menjalin hubungan politik, perdagangan dan kebudayaan dengan Tibet.
Tak heran, bila nama Tibet kerap disebut para sejarawan Islam di era kekhalifahan. Sejarawan Yaqut Hamawi, Ibnu Khaldun, dan Tabari menyebutnyebut nama Tibet dalam tulisannya. Bahkan, Yaqut Hamawi dalam bukunya bertajuk Muajumal Buldan (Ensiklopedia Negara-negara) menyebut Tibet dengan tiga sebutan yakni, Tabbat, Tibet, dan Tubbet.
Ajaran Islam mulai bersemi di Tibet pada era kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz I (717 M - 720 M) dari Dinasti Umayyah. Umar mengirimkan utusannya ke pegunungan Himalaya setelah mendapat permintaan dari delegasi Tibet dan Cina untuk menyebarkan Islam di negeri itu. Khalifah pun lalu mengirimkan Salah bin Abdullah Hanafi ke Tibet.
Itulah awal mula ajaran Islam berkembang di Tibet. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan Abbasiyah, para penguasa Baghdad tetap menjalin hubungan dengan Tibet. Orang Muslim di Tibet mendapat julukan ‘Khachee’ yang berarti orang Kashmir. Masyarakat Tibet menyebut bangsa Kashmir dengan panggilan ‘Kachee Yul’.
Kachee alias orang Muslim merupakan kelompok minoritas di Tibet yang didominasi pengikut Budha. Meski Kachee bukanlah orang Tibet asli, ternyata mereka lebih diakui sebagai bagian dari masyarakat Tibet, ketimbang Muslim Hui yang berasal dari Cina yang biasa disebut Kyangsha. Muslim Tibet tersebar di seluruh negeri Tibet.
Sebagian besar Muslim Tibet menetap di ibu kota Lhasa dan Shigatse — kota terbesar kedua di Tibet. Muslim Tibet boleh dibilang memiliki keunikan tersendiri. Sebagian besar dari penganut Islam berasal dari keturunan Kashmir, Persia, atau Arab melalui garis keturunan ayah. Darah Tibet mengalir melalui garis keturunan ibu. Maka tak heran, banyak dari mereka yang bernama depan Tibet namun nama keluarganya Persia.
Hal itu terjadi lantaran Tibet berbatasan dengan Kashmir dan Turkistan Timur. Konon, imigran Muslim dari Kashmir dan Ladakh pertama kali memasuki wilayah Tibet sekitar abad ke-12 M. Secara perlahan, pernikahan dan interaksi sosial antara imigran Muslim dengan masyarakat Tibet telah membuat populasi di sekitar kota Lhasa.
Meski begitu, tak terlalu banyak penduduk Tibet asli yang berpindah keyakinan ke agama Islam. Thomas Arnold dalam bukunya berjudul The Preaching of Islam mengatakan, ”Ajaran Islam juga disebarkan ke Tibet oleh para saudagar dari Kashmir. Keberadaan mereka bisa ditemukan di seluruh kota terkemuka di Tibet.”
Para saudagar Muslim Kashmir itu banyak yang menikahi wanita Tibet. Para wanita itu kemudian memeluk agama suaminya. Kedatangan Islam di pegunungan Himalaya diikuti dengan pembangunan Masjid di beberapa wilayah Tibet. Di kota Lhasa berdiri empat masjid. Sedangkan, di Shigate berdiri dua masjid dan satu masjid lainnya dibangun di Tsethang.
Komunitas Muslim Tibet kebanyakan berkumpul di sekitar masjid yang mereka bangun. Masjid pun menjadi pusat kehidupan sosial Muslim Tibet. Tak heran, bila masjid-masjid yang ada Tibet dipelihara dengan baik. Ketika Tibet berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tibet, umat Islam bisa hidup dengan tenang dan damai.
Ketika Raja Tibet yang bergelar Dalai Lama ke-5 berkuasa, Muslim Tibet mendapat perlakukan Istimewa. Salah satunya, Muslim Tibet diizinkan menjalankan urusannya sesuai dengan syariah. Pemerintah juga mengizinkan komunitas Muslim untuk memilih lima anggota komisi yang dikenal sebagai ‘Ponj’ untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
Selain itu, Muslim Tibet juga bebas untuk mendirikan perusahaan dan menjalankan usaha serta bisnisnya. Tak hanya itu, mereka juga dibebaskan dari pungutan pajak. Ketika umat Budha menjalani bulan suci, umat Islam tak dibatasi dari larangan memakan daging. Selain itu, Muslim Tibet juga diperbolehkan untuk memiliki areal pemakaman sendiri. Di kota Lhasa terdapat dua tempat pemakaman Muslim.
Sedangkan di Gyanda dan Kygasha masing-masing terdapat satu tempat pemakaman umum. Pemakaman itu kemudian dihiasi dengan taman. Sehingga komunitas Muslim bisa melakukan aktivitas rekreasi dan lainnya di taman itu. Di Gyanda diyakini terdapat makam tokoh Muslim pertama yang menyebarkan Islam di Tibet. Sedangkan, pemakaman Muslim Kygasha kebanyakan digunakan oleh Muslim yang berasal dari Cina.
Mayoritas penduduk Muslim Tibet bermata pencaharian sebagai pedagang dan pebisnis. Seiring bertambah besarnya komunitas Muslim, mereka lalu mendirikan madrasah atau sekolah dasar. Di madrasah itulah, anak-anak Muslim belajar tentang Islam seperti membaca Alquran serta shalat. Bahasa Urdu menjadi bagian dari kurikulum. Setidaknya ada dua madrasah di kota Lhasa dan satu di Shigatse.
Selepas menempuh pendidikan dasar di madrasah, para orangtua mengirimkan anaknya untuk menempuh pendidikan lebih tinggi ke India, seperti Darul Ulum di Deobanda, Nadwatul- Ulama di Lucknow, dan Jamia Millia Islamia di New Delhi. Pada masa itu, hambatan utama yang dihadapi warga Muslim Tibet untuk melanjutkan sekolah ke India adalah masalah transportasi.
Para siswa Muslim yang akan belajar ke India terpaksa harus ikut dengan rombongan para pedagang yang biasa melakukan perjalanan setahun sekali ke India. Masa-masa kedamaian dan kebebasan umat Islam Tibet beribadah dan menjalani kehidupan sosial akhirnya mulai terbatasi seiring dengan jatuhnya Tibet ke dalam kekuasaan Cina.
Tibet menjadi salah satu provinsi Tiongkok setelah Tentara Merah menyerbu wilayah itu pada 1950. Setahun kemudian, Cina berhasil menguasai ibu kota Lhasa dan mendongkel Dalai Lama dari kekuasaannya. Dalai Lama pun membentuk semacam pemerintahan di pengasingan.
Persahabatan Tibet - Islam
Ketika dunia Islam dipojokkan Barat, pemimpin Tibet, Dalai Lama yang beragama Budha tampil membela Islam. Dalam pertemuan puncak Antiteror di San Fransisco pada April 2006, secara tegas Dalai Lama menyatakan Islam telah diperlakukan secara tak adil.
‘’Bagi sejumlah orang, tradisi Islam saat ini tampak sebagai tradisi yang militan,’’ kata peraih Nobel Perdamaian pada 1989 ini. ‘’Saya merasa itu jelas-jelas salah. Islam, sebagaimana keyakinan yang lain, mempunyai pesan dan ajaran yang sama yakni mengajarkan kasing sayang.”
Dalai Lama mengatakan, saat ini yang kerap terdengar adalah terjadinya bom bunuh diri di sejumlah negara Muslim. Namun, dunia tidak pernah mendengar bagaimana umat Islam bekerja untuk kaum miskin. Dalai Lama mengingatkan, bom bunuh diri adalah sebuah kejahatan yang bisa terjadi di setiap agama.
‘’Orang-orang jahat tidak hanya ada dalam komunitas Muslim tetapi selalu ada dalam kehidupan agama lain, apakah itu Hindu, Budha, atau Kristen,’’ katanya. ‘’Saya sendiri menyebut diri saya sebagai orang yang penuh kasih sayang tetapi jika emosi saya tidak terkendali maka orang yang penuh kasing sayang itu bukan lagi menjadi orang yang penuh kasih sayang,’’ lanjut pemilik nama asli Tenzim Gyatso ini.
Dalam kesempatan itu, Dalai Lama menyeru semua pemuka agama untuk mempromosikan kehidupan yang penuh toleransi. Ia pun mengajak mereka bergandengan tangan dan menentukan sikap bersama untuk membela Islam. ‘’Dalam beberapa hal, saya adalah salah satu pembela tradisi Muslim,’’ tegas Dalai Lama. ‘
Yang Terusir dari Kampung Halaman
Sejak Cina menguasai Tibet, posisi umat Islam yang minoritas semakin terjepit. Tak cuma orang Muslim, umat Budha saja sebagai mayoritas mendapat tekanan dari pemerintahan Komunis Republik Rakyat Cina (RRC). Para penguasa Cina pun mendesak Muslim Tibet untuk menjual tanah dan bangunan yang mereka miliki.
Bila Muslim Tibet mau menjual lahan dan bangunannya, mereka diperbolehkan untuk berimigrasi ke luar negeri. Muslim Tibet tentu tak mau menyerahkan begitu saja harta dan kekayaan yang mereka peroleh dari hasil kerjanya. Akibatnya, mereka terus ditekan dan diboikot dari kehidupan sosial.
Penguasa Cina melarang setiap orang untuk menjual makanan kepada Muslim Tibet yang tak mau menjual hartanya kepada penguasa. Akibat sanksi boikot itu, tak sedikit orang tua dan anak-anak Muslim Tibet mengalami kelaparan. Untunglah, pada 1959 Pemerintah India mengeluarkan pengumuman bahwa seluruh Muslim Tibet adalah warga negara India.
Formulir permohonan kewarganegaraan India pun dibagikan kepada Muslim Tibet. Sejak saat itu, Muslim Tibet berbondong-bondong hijrah ke kota perbatasan seperti Kalimpong, Darjeeling dan Gangtok. Mereka kemudian berangsur-angsur pindah ke Kashmir. Perhatian Dalai lama terhadap Muslim Tibet tetap ada, meski dia juga hidup dalam pengasingan.
Dalai Lama mengirimkan perwakilannya untuk melihat kondisi Muslim Tibet di India. Selama dua dasawarsa pertama hidup di pengasingan, Muslim Tibet mencoba untuk bangkit membangun kekuatannya. Lantaran tak memiliki figur pemimpin, Muslim Tibet pun akhirnya kesulitan untuk membangun kembali komunitasnya di pengasingan. Sadar pemukiman di pengasingan yang mereka tempat tak lagi layak untuk membangun keluarga, Muslim Tibet akhirnya memilih berimgrasi ke beberapa negara seperti, Arab Saudi, Turki, Nepal, dan belahan lain wilayah India untuk mencari penghidupan dan kesempatan yang lebih baik.
Mendengar rakyatnya yang beragama Muslim mengalami masalah di pengasingan, Dalai Lama dalam kunjungannya ke Srinagar pada tahun 1975 membahas masalah itu dengan petinggi di Jammu dan Kashmir. Dalai Lama mendorong Muslim Tibet di pengasingan membentuk Asosiasi Kesejahteraan Pengungsi Muslim.
Dana awal operasional asosiasi itu berasal dari bantuan Dalai Lama. Kemudian, asosiasi itu mendapat bantuan kucuran dana dari Tibet Fund di New York. Muslim Tibet pun lalu mendirikan pusat cenderamata dan kerajinan tangan, memiliki toko koperasi. Setelah itu, mereka lalu mendirikan sebuah sekolah. Anak-nak muda Muslim Tiber juga dilatih membuat karpet di Dharamsala.
Kini, tak ada yang tahu secara pasti jumlah Muslim Tibet yang bertahan dan tinggal di kampung halamannya. Menurut sebuah laporan, jumlah Muslim Tibet yang berada di dalam negeri mencapai 3.000 orang. Sedangkan, total Muslim Tibet yang memilih merantau di luar negeri mencapai 2.000 orang. Muslim Tibet benar-benar menderita sejak wilayah pegunungan Himalaya dikuasai Cina.
Tibet bergolak. Kerusuhan dan kekerasan tengah melanda salah satu provinsi di Republik Rakyat Cina (RRC) itu. Meski Islam hanyalah agama minoritas di wilayah pegunungan Himalaya itu, secara historis bangsa Tibet dan Islam ternyata memiliki hubungan yang erat. Sejak abad ke-8 M, umat Islam telah menjalin hubungan politik, perdagangan dan kebudayaan dengan Tibet.
Tak heran, bila nama Tibet kerap disebut para sejarawan Islam di era kekhalifahan. Sejarawan Yaqut Hamawi, Ibnu Khaldun, dan Tabari menyebutnyebut nama Tibet dalam tulisannya. Bahkan, Yaqut Hamawi dalam bukunya bertajuk Muajumal Buldan (Ensiklopedia Negara-negara) menyebut Tibet dengan tiga sebutan yakni, Tabbat, Tibet, dan Tubbet.
Ajaran Islam mulai bersemi di Tibet pada era kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz I (717 M - 720 M) dari Dinasti Umayyah. Umar mengirimkan utusannya ke pegunungan Himalaya setelah mendapat permintaan dari delegasi Tibet dan Cina untuk menyebarkan Islam di negeri itu. Khalifah pun lalu mengirimkan Salah bin Abdullah Hanafi ke Tibet.
Itulah awal mula ajaran Islam berkembang di Tibet. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan Abbasiyah, para penguasa Baghdad tetap menjalin hubungan dengan Tibet. Orang Muslim di Tibet mendapat julukan ‘Khachee’ yang berarti orang Kashmir. Masyarakat Tibet menyebut bangsa Kashmir dengan panggilan ‘Kachee Yul’.
Kachee alias orang Muslim merupakan kelompok minoritas di Tibet yang didominasi pengikut Budha. Meski Kachee bukanlah orang Tibet asli, ternyata mereka lebih diakui sebagai bagian dari masyarakat Tibet, ketimbang Muslim Hui yang berasal dari Cina yang biasa disebut Kyangsha. Muslim Tibet tersebar di seluruh negeri Tibet.
Sebagian besar Muslim Tibet menetap di ibu kota Lhasa dan Shigatse — kota terbesar kedua di Tibet. Muslim Tibet boleh dibilang memiliki keunikan tersendiri. Sebagian besar dari penganut Islam berasal dari keturunan Kashmir, Persia, atau Arab melalui garis keturunan ayah. Darah Tibet mengalir melalui garis keturunan ibu. Maka tak heran, banyak dari mereka yang bernama depan Tibet namun nama keluarganya Persia.
Hal itu terjadi lantaran Tibet berbatasan dengan Kashmir dan Turkistan Timur. Konon, imigran Muslim dari Kashmir dan Ladakh pertama kali memasuki wilayah Tibet sekitar abad ke-12 M. Secara perlahan, pernikahan dan interaksi sosial antara imigran Muslim dengan masyarakat Tibet telah membuat populasi di sekitar kota Lhasa.
Meski begitu, tak terlalu banyak penduduk Tibet asli yang berpindah keyakinan ke agama Islam. Thomas Arnold dalam bukunya berjudul The Preaching of Islam mengatakan, ”Ajaran Islam juga disebarkan ke Tibet oleh para saudagar dari Kashmir. Keberadaan mereka bisa ditemukan di seluruh kota terkemuka di Tibet.”
Para saudagar Muslim Kashmir itu banyak yang menikahi wanita Tibet. Para wanita itu kemudian memeluk agama suaminya. Kedatangan Islam di pegunungan Himalaya diikuti dengan pembangunan Masjid di beberapa wilayah Tibet. Di kota Lhasa berdiri empat masjid. Sedangkan, di Shigate berdiri dua masjid dan satu masjid lainnya dibangun di Tsethang.
Komunitas Muslim Tibet kebanyakan berkumpul di sekitar masjid yang mereka bangun. Masjid pun menjadi pusat kehidupan sosial Muslim Tibet. Tak heran, bila masjid-masjid yang ada Tibet dipelihara dengan baik. Ketika Tibet berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tibet, umat Islam bisa hidup dengan tenang dan damai.
Ketika Raja Tibet yang bergelar Dalai Lama ke-5 berkuasa, Muslim Tibet mendapat perlakukan Istimewa. Salah satunya, Muslim Tibet diizinkan menjalankan urusannya sesuai dengan syariah. Pemerintah juga mengizinkan komunitas Muslim untuk memilih lima anggota komisi yang dikenal sebagai ‘Ponj’ untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
Selain itu, Muslim Tibet juga bebas untuk mendirikan perusahaan dan menjalankan usaha serta bisnisnya. Tak hanya itu, mereka juga dibebaskan dari pungutan pajak. Ketika umat Budha menjalani bulan suci, umat Islam tak dibatasi dari larangan memakan daging. Selain itu, Muslim Tibet juga diperbolehkan untuk memiliki areal pemakaman sendiri. Di kota Lhasa terdapat dua tempat pemakaman Muslim.
Sedangkan di Gyanda dan Kygasha masing-masing terdapat satu tempat pemakaman umum. Pemakaman itu kemudian dihiasi dengan taman. Sehingga komunitas Muslim bisa melakukan aktivitas rekreasi dan lainnya di taman itu. Di Gyanda diyakini terdapat makam tokoh Muslim pertama yang menyebarkan Islam di Tibet. Sedangkan, pemakaman Muslim Kygasha kebanyakan digunakan oleh Muslim yang berasal dari Cina.
Mayoritas penduduk Muslim Tibet bermata pencaharian sebagai pedagang dan pebisnis. Seiring bertambah besarnya komunitas Muslim, mereka lalu mendirikan madrasah atau sekolah dasar. Di madrasah itulah, anak-anak Muslim belajar tentang Islam seperti membaca Alquran serta shalat. Bahasa Urdu menjadi bagian dari kurikulum. Setidaknya ada dua madrasah di kota Lhasa dan satu di Shigatse.
Selepas menempuh pendidikan dasar di madrasah, para orangtua mengirimkan anaknya untuk menempuh pendidikan lebih tinggi ke India, seperti Darul Ulum di Deobanda, Nadwatul- Ulama di Lucknow, dan Jamia Millia Islamia di New Delhi. Pada masa itu, hambatan utama yang dihadapi warga Muslim Tibet untuk melanjutkan sekolah ke India adalah masalah transportasi.
Para siswa Muslim yang akan belajar ke India terpaksa harus ikut dengan rombongan para pedagang yang biasa melakukan perjalanan setahun sekali ke India. Masa-masa kedamaian dan kebebasan umat Islam Tibet beribadah dan menjalani kehidupan sosial akhirnya mulai terbatasi seiring dengan jatuhnya Tibet ke dalam kekuasaan Cina.
Tibet menjadi salah satu provinsi Tiongkok setelah Tentara Merah menyerbu wilayah itu pada 1950. Setahun kemudian, Cina berhasil menguasai ibu kota Lhasa dan mendongkel Dalai Lama dari kekuasaannya. Dalai Lama pun membentuk semacam pemerintahan di pengasingan.
Persahabatan Tibet - Islam
Ketika dunia Islam dipojokkan Barat, pemimpin Tibet, Dalai Lama yang beragama Budha tampil membela Islam. Dalam pertemuan puncak Antiteror di San Fransisco pada April 2006, secara tegas Dalai Lama menyatakan Islam telah diperlakukan secara tak adil.
‘’Bagi sejumlah orang, tradisi Islam saat ini tampak sebagai tradisi yang militan,’’ kata peraih Nobel Perdamaian pada 1989 ini. ‘’Saya merasa itu jelas-jelas salah. Islam, sebagaimana keyakinan yang lain, mempunyai pesan dan ajaran yang sama yakni mengajarkan kasing sayang.”
Dalai Lama mengatakan, saat ini yang kerap terdengar adalah terjadinya bom bunuh diri di sejumlah negara Muslim. Namun, dunia tidak pernah mendengar bagaimana umat Islam bekerja untuk kaum miskin. Dalai Lama mengingatkan, bom bunuh diri adalah sebuah kejahatan yang bisa terjadi di setiap agama.
‘’Orang-orang jahat tidak hanya ada dalam komunitas Muslim tetapi selalu ada dalam kehidupan agama lain, apakah itu Hindu, Budha, atau Kristen,’’ katanya. ‘’Saya sendiri menyebut diri saya sebagai orang yang penuh kasih sayang tetapi jika emosi saya tidak terkendali maka orang yang penuh kasing sayang itu bukan lagi menjadi orang yang penuh kasih sayang,’’ lanjut pemilik nama asli Tenzim Gyatso ini.
Dalam kesempatan itu, Dalai Lama menyeru semua pemuka agama untuk mempromosikan kehidupan yang penuh toleransi. Ia pun mengajak mereka bergandengan tangan dan menentukan sikap bersama untuk membela Islam. ‘’Dalam beberapa hal, saya adalah salah satu pembela tradisi Muslim,’’ tegas Dalai Lama. ‘
Yang Terusir dari Kampung Halaman
Sejak Cina menguasai Tibet, posisi umat Islam yang minoritas semakin terjepit. Tak cuma orang Muslim, umat Budha saja sebagai mayoritas mendapat tekanan dari pemerintahan Komunis Republik Rakyat Cina (RRC). Para penguasa Cina pun mendesak Muslim Tibet untuk menjual tanah dan bangunan yang mereka miliki.
Bila Muslim Tibet mau menjual lahan dan bangunannya, mereka diperbolehkan untuk berimigrasi ke luar negeri. Muslim Tibet tentu tak mau menyerahkan begitu saja harta dan kekayaan yang mereka peroleh dari hasil kerjanya. Akibatnya, mereka terus ditekan dan diboikot dari kehidupan sosial.
Penguasa Cina melarang setiap orang untuk menjual makanan kepada Muslim Tibet yang tak mau menjual hartanya kepada penguasa. Akibat sanksi boikot itu, tak sedikit orang tua dan anak-anak Muslim Tibet mengalami kelaparan. Untunglah, pada 1959 Pemerintah India mengeluarkan pengumuman bahwa seluruh Muslim Tibet adalah warga negara India.
Formulir permohonan kewarganegaraan India pun dibagikan kepada Muslim Tibet. Sejak saat itu, Muslim Tibet berbondong-bondong hijrah ke kota perbatasan seperti Kalimpong, Darjeeling dan Gangtok. Mereka kemudian berangsur-angsur pindah ke Kashmir. Perhatian Dalai lama terhadap Muslim Tibet tetap ada, meski dia juga hidup dalam pengasingan.
Dalai Lama mengirimkan perwakilannya untuk melihat kondisi Muslim Tibet di India. Selama dua dasawarsa pertama hidup di pengasingan, Muslim Tibet mencoba untuk bangkit membangun kekuatannya. Lantaran tak memiliki figur pemimpin, Muslim Tibet pun akhirnya kesulitan untuk membangun kembali komunitasnya di pengasingan. Sadar pemukiman di pengasingan yang mereka tempat tak lagi layak untuk membangun keluarga, Muslim Tibet akhirnya memilih berimgrasi ke beberapa negara seperti, Arab Saudi, Turki, Nepal, dan belahan lain wilayah India untuk mencari penghidupan dan kesempatan yang lebih baik.
Mendengar rakyatnya yang beragama Muslim mengalami masalah di pengasingan, Dalai Lama dalam kunjungannya ke Srinagar pada tahun 1975 membahas masalah itu dengan petinggi di Jammu dan Kashmir. Dalai Lama mendorong Muslim Tibet di pengasingan membentuk Asosiasi Kesejahteraan Pengungsi Muslim.
Dana awal operasional asosiasi itu berasal dari bantuan Dalai Lama. Kemudian, asosiasi itu mendapat bantuan kucuran dana dari Tibet Fund di New York. Muslim Tibet pun lalu mendirikan pusat cenderamata dan kerajinan tangan, memiliki toko koperasi. Setelah itu, mereka lalu mendirikan sebuah sekolah. Anak-nak muda Muslim Tiber juga dilatih membuat karpet di Dharamsala.
Kini, tak ada yang tahu secara pasti jumlah Muslim Tibet yang bertahan dan tinggal di kampung halamannya. Menurut sebuah laporan, jumlah Muslim Tibet yang berada di dalam negeri mencapai 3.000 orang. Sedangkan, total Muslim Tibet yang memilih merantau di luar negeri mencapai 2.000 orang. Muslim Tibet benar-benar menderita sejak wilayah pegunungan Himalaya dikuasai Cina.
Sejak awal abad ke-7 dan ke-8, sebagian bangsa Lombard, salah satu dari
bangsa Jerman yang menguasai sebagian Italia, memilih meninggalkan
kepercayaan Arianisme dan memeluk Islam di samping Katolik, sedangkan
al-Ankubarti umumnya berjuang sebagai tentara sewaan dalam pasukan Arab
di pantai Mediterrania Afrika,
khususnya Ifriqiyah-Tunisia, dan juga Saqaliba oleh masyarakat Muslim
Arab. Di Palermo Tengah, sebuah distrik diberi nama Saqaliba. Orang
Sisilia-Saqaliba terkenal dari abad ke-10 adalah Gawhar Al-Siqilli,
seorang pemimpin militer Fatimiyyahdan yang mendirikan Cairo. Orang
Sisilia-Saqaliba lain, adalah dari bangsa Slavia Sabir al-Fata, yang
menaklukkan Taranto dan Otranto pada tahun 927.
Serangan Arab pertama terhadap Sisilia-Bizantium pada tahun 652, 667,
dan 720 mengalami kegagalan Syracuse dapat ditaklukkan untuk pertama
kalinya untuk sementara waktu pada tahun 708, namun sebuah invasi yang
direncanakan pada tahun 740 gagal dilaksanakan karena pemberontakan
Berber dari Maghreb yang berlangsung hingga tahun 771 dan perang sipil
di Ifriqiyah berlangsung hingga tahun 799. Sardinia bagaimanapun
berhasil dikuasai Islam dalam beberapa tahapan pendudukan yang
berlangsung pada tahun 711, 720, dan 760 secara berturut-turut. Pulau
Italia Pantelleria dapat ditaklukkan oleh bangsa Arab pada tahun 700.
Awal Masuk Islam dan Penaklukan kota Sisilia
Sisilia menjadi batu loncatan untuk pergerakan islam menuju Italia.
Setelah Sisilia jatuh ke tangan Islam, kota-kota terdekat juga ikut
ditaklukan. Calarbia yang ketika itu diserang oleh pasukan Ibrahim II.
Kemudian Palermo jatuh, terjadi konflik antar Lombardo di Italia Selatan
dan para jendral Aghlabiyah ikut campur terhadap konflik tersebut.
Pasukan Islam semakin bersemangat untuk menyerang daerah romawi timur
ini. Kota Bari yang selanjutnya dikalahkan kemudian pasukan Islam menuju
gerbang Venesia.
Untuk mengakhiri pemberontakan pasukannya, hakim Aghlabiyyah dari Ifriqiyah mengirimkan para perjuang Arab, Berber, dan Andalusia
untuk menaklukkan Sisilia pada tahun 827, 830, dan 875, dengan dipimpin
oleh Asad bin al-Furat. Pada tahun 902, hakim Ifriqiyah menjadikan
dirinya sendiri untuk memimpin pasukan perang untuk bertempur di pulau
tersebut. Hakim dari Sisilia, yang memberontak melawan Konstantinopel,
dijuluki oleh kaum Muslim (disebut Saraken oleh orang Eropa) sebagai
penolong. Pada tahun 831 Palermo jatuh ke tangan mereka, kemudian pada
tahun 843 diikuti Messina, pada tahun 878 Syracuse, pada tahun 902
Taormina, pada tahun 918 Reggio Calabria di daratan utama, dan pada
tahun 964 Rometta, dan yang benteng Bizantium terakhir yang tersisa di
Sisilia.
Keberhasilan pertanian Sisilia di bawah kekuasaan Arab menjadikan
pertanian tersebut terkenal di bidang ekspor. Seni dan kerajinan tangan
menjadi berkembang pesat di kota itu. Palermo, ibu kota Arab di pulau
itu, memiliki 300.000 penduduk saat itu, lebih banyak dari hasil
penggabungan seluruh kota di Jerman. Pada awal abad ke-11, umat Muslim
menjadi setengah populasi Sisilia, dengan bangsa Arab mendominasi utara
pulau di sekitar Palermo dan bangsa Berber di area sekitar Agrigento di
wilayah selatan.
Dari Sisilia, bangsa Muslim mulai pindah ke daratan utama dan menguasai
Calabria. Pada tahun 835 dan kemudian tahun 837, Adipati Naples meminta
bangsa muslim untuk membantu berjuang melawan Adipati Benevento. Pada
tahun 840, kota Taranto dan Bari jatuh ke tangan bangsa Muslim, dan pada
tahun 841, Brindisi juga mengalami kejatuhan. Capua dapat ditaklukkan,
Benevento, yang saat itu di bawah kekuasaan bangsa Frank, dapat dikuasai
pada tahun 840-847 dan tahun 851-52. Serangan bangsa Arab terhadap Kota
Roma pada tahun 843, 846 dan 849 berhasil digagalkan. Pada tahun 847,
Kota Taranto, Bari, dan Brindisi menyatakan menjadi emirat independen
dari Aghlabiyyah. Selama beberapa dekade, bangsa Muslim memerintah
Mediterrania dan menyerang kota-kota pesisir Italia. Pada tahun 868-870,
Kota Ragusa di Sisilia masih dalam kekuasaan bangsa Arab.
Tahun 1002, Bari dikuasai lagi oleh bangsa Arab, namun kemudian dikuasai
lagi oleh Byzantium. Melus (Melo), Emir Bari 1009-1019, melawan
Byzantium dan dijuluki oleh orang Normandia sebagai penyelamat. Melus,
berasal dari Lombard-Arabi, digambarkan sebagai Ismail dalam sulaman
emas "Sternenmantel", yang diberikan kaisar Jerman Henry II.
Setelah Aghlabids dikalahkan di Ifriqiya, Sisilia jatuh pada abad ke-10
kepada pengganti Bani Fatimiyah mereka, namun mengklaim kemerdekaan
setelah pertempuran antara Islam Sunni dan Islam Syi'ah dibawah Kalbids.
Setelah mereka menguasai kekaisaran Visigoth di Spanyol,
bangsa Arab dan Barbar 729-765 dari Septimania dan Narbonne melakukan
pengepungan di Italia utara, dan tahun 793 menyerbu lagi Perancis selatan
(Nice 813, 859 dan 880). Tahun 888 Muslim Andalusia mengubah pasukan
baru di Fraxinet dekat Frejus di Provinsi Perancis, dari mana mereka
mengawali pengepungan sepanjang pesisir dan di dalam Perancis.
Tahun 915, setelah Pertempuran Garigliano, bangsa Muslim kehilangan
pasukan mereka di selatan Lazio. Tahun 926 Raja Hugh dari Italia
memerintah bangsa Arab untuk bertempur mempertahankan Italia utara yang
direbut miliknya. Tahun 934 dan 935 Genua dan La Spezia diserang,
diikuti oleh Nice pada tahun 942. Di Piedmont, bangsa Muslim menempuh
sejauh Asti dan Novi, yang bergerak ke utara sepanjang lembah Rhône dan
bagian barat Alps. Setelah kekalahan Pasukan Burgundy, Tahun 942-964
mereka menguasai Savoy dan menduduki sebagian Switzerland (952-960).
Kota Swiss seperti Saratz tetap menggunakan lambang keberadaan Arab di
wilayah itu. Untuk melawan bangsa Arab, Kaisar Berengar I, sainggan
Hugh, memerintah bangsa Hungaria, di mana dalam pergerakannya, mereka
menghancurkan utara Italia. Di bawah tekanan Raja Jerman, Fraxinet harus
menyerah pada tahun 972, namun tiga puluh tahun kemudian, pada tahun
1002, Genoa diserbu, dan pada tahun 1004 Pisa.
Pisa dan Genoa bergabung untuk mengakhiri aturan Muslim hingga Corsica
(Islam 810/850-930/1020) dan Sardinia. Sejak 1015 Sardinia dilindungi
oleh armada Emir Andalusia Dénia di Spanyol, yang dikalahkan oleh
persatuan bangsa Italia tahun 1016 dan kemudian setelah invasinya tahun
1022. Hanya pada tahun 1027 bangsa Italia berhasil dalam mengalahkan
Muslim Sardinia; pergolakan Muslim terakhir berakhir tahun 1050.
Keadaan Kaum Muslim Pada Masa Pemerintahan Raja Roger I dan II
Raja Roger I memberi perhatian dan penjagaan terhadap kaum muslim.
Bahkan Roger I ini membuat mata uang yang mengandung beberapa simbol
Islam. Ketika Roger II juga tidak ada bedanya. Hal yang menarik darinya
adalah dia berpakaian layaknya seorang muslim, dan para pengkritiknya
menyebutnya “Raja Setenga-matang”. Jubahnya dihiasi karakter-karakter
Arab. Dimasa kekuasaannya, dia membuat kapel yang dibangun di ibu kota
Negara memiliki atap yang ditutupi lukisan-lukisan bergaya Fatimiyah dan
kaligrafi-kaligarfi bergaya Kufi. ‘Sejumlah benda-benda seni terbuat
yang terbuat dari gading, termasuk kotak hiasan dan krosir yang saat ini
bisa dilihat di Museo Cristiao di Vatikan dan Musium lainnya, merupakan
hasil tangan-tangan kreatif perajin Sisilia-Arab-Kristen pada periode
ini’(Hitti,2010:775-776).
Roger II yang menjadi tuan rumah di wilayahnya, bersama yang lain,
geografer terkenal Muhammad al-Idrisi dan penyair Muhammad bin Zafar.
Saat pertama, umat Muslim bertoleransi dengan bangsa Normandia, namun
kemudian tekanan dari Paus menjadikan diskriminasi terhadap mereka
meningkat banyak masjid dihancurkan atau dijadikan gereja. Normandia
Sisilia pertama tidak ambil bagian dalam Perang Salib, namun mereka
segera melakukan sejumlah invasi dan pemberontakan di Ifriqiya, sebelum
mereka dikalahkan di sana setelah tahun 1157 oleh Almohad.
Keadaan Kaum Muslim Pada Masa Pemerintahan Raja William II
Raja William II mempelajari bahasa Arab dan memilih para penasihat dari
para muslim. Pada masanya ini beberapa wanita Kristen yang mengenakan
pakain muslim. William II, memahami bahasa Arab dan bahasa Latin dengan
baik. Ia menerjemahkan ke dalam bahasa latin buku optice dari bahasa
Arab karya ilmuwan-filosof Yunani Ptolemius. Edisi buku asli buku itu
yang berbahasa Yunani sudah hilang. Ia juga membantu menerjemahkan
kedalam bahasa Yunani kisah fable berbahasa Arab Kalilah wah Dimnah.
William tiak hanya menyokong proyek-proyek penerjemahan dari bahasa
Arab, ia juga mendorong para penerjemah utnuk menerjemahkan langsung
dari bahasa Yunani’ (Hitti,2010:781).
Kehidupan tenang bersama di Sisilia akhirnya berakhir dengan kematian
Raja William II tahun 1189. Orang Muslim terpilih bermigrasi saat itu.
Pengetahuan medis mereka dipertahankan di Schola Medica Salernitana;
simbiosis Arabi-Byzantium-Normandia dalam seni dan arsitektur diabadikan
sebagai Gaya Arsitektur Roma Sisilia. Pelarian Muslim yang tersisa,
menjadi contoh Caltagirone di Sisilia, atau bersembunyi dalam gunung dan
lanjutan penentangan terhadap Dinasti Hohenstaufen, yang mengatur pulau
dari tahun 1194. Dalam tanah kebanggaan pulau, Muslim dilafalkan oleh
Ibnu Abbad, Emir Sisilia terakhir.
Keadaan Kaum Muslim Pada Masa Pemerintahan Raja Frederick II
Untuk mengakhiri pergolakan ini, kaisar Frederick II, pengikut Perang
Salib, manghasut kebijakan "pembersihan" etnis dan agama, berkaitan
dengan tekanan Papal namun juga dalam perintah untuk menjadikan
kemampuan pasukan loyal yang tidak dapat terpengaruh oleh saingan
Kristen (baron lokal dan raja asing, seperti Paus). Tahun 1224-1239 dia
mendeportasi 20.000-30.000 Muslim dari Sisilia menuju koloni di bawah
kendali militer di Lucera di Apulia, kira-kira 20 kilometer barat laut
Foggia dan 150 kilometer barat laut Bari. Dia menjadikan koloni otonomi
dan mendukung mereka, dengan demikian membantu kebudayaan Muslim di
Italia untuk terakhir kalinya. Tahun 1249 dia menolak Muslim dari Malta.
Frederick memiliki pasukan pengaman Muslim, berbahasa Arab dan
mengenakan Mantel Penobatan yang dibuat oleh penjahit Arab, menyebabkan
paus membuangnya sebagai "Sultan Lucera".
Pada masa kekuasaan Raja Frederick II, beliau membuat sekolah syair Arab
yang juga mengajarakan bahasa Arab. Di sekolah tersebut ditugasakan
beberapa orang ulama muslim untuk mengajar. Mereka juga terdiri dari
pakar geografi, astronomi, dan Sastra Arab. Raja Fredrik II (1194-1250
M) seorang pewaris kerajaan Sisilia juga amat terpengaruh dengan budayan
Arab. Karena perilakunya ini maka gereja mengeluarkan keputusan untuk
mengasingkannya selama dua kali dalam kehidupannya. Raja ini berhasil
memajukan sekolah Salono. Berikutnya ia juga mendirikan universitas
Napoli yang dalam waktu cepat segera berubah menjadi universitas untuk
mentransfer ilmu-ilmu Arab dan Islam ke Eropa (Khadhar,2005: 53). Jadi
pada masa Fredrik banyak sekali menerjemahkan buku-buku penting seperti
lebih dari 300 buku dalam bidang kedokteran. Pada masa itu juga berbagai
karya dan produk berharga yang menunjukkan aktivitas rasio yang
menakjubkan.
Dalam kebiasaan pribadi dan kehidupan resminya, Frederik, yang memiliki
seorang Harem, menampakkan ciri-ciri ketimuran. Di dalam istananya
terdapat beberapa filosof dari Suriah dan Baghdad, yang berjanggut
panjang dan jubah menjuntai, gadis-gadis penari dari timur, serta
beberapa yahudi dari timur dan barat. Kesenangannya pada dunia Islam ia
pelihara dengan menjalin hubungan-hubungan politik dan dagang, khususnya
dengan sultan-sultan dari dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Saat kematian Frederick, menurut dugaan 60.000 Muslim tinggal di Lucera.
Setelah kejatuhan Hohenstaufen dalam Pertempuran Benevento (1266),
Muslim bertempur berdampingan dengan Staufer Sisilia, dan pengikut
Perang Salib yang kalah pada tahun 1291. Lucera akhirnya dapat
dikalahkan tahun 1300 karena hasutan Paus oleh Raja Charles II dari
Naples. Populasi Muslim, yang berjumlah kira-kira 100.000, dibunuh dan
diperbudak.
Apulia termasuk dalam Kerajaan Naples dan berdiri di bawah peraturan Spanyol
sejak pertengahan abad ke-15. Orang Spanyol telah memulai serangan
terakhir dalam pendudukan Granada tahun 1481. Tumpuan Islam terakhir di
Spanyol menyebabkan keputusasaan untuk dapat membantu semua negara Islam
Mediterania.
Kekaisaran Ottoman, pada tahun 1453 di bawah Sultan Mehmed II telah
menduduki Konstantinopel dan Galata, tahun 1475 tumpuan terakhir Genuas
diLaut Hitam dan tahun 1479 Koloni Venetian Euboea di Yunani, tahun 1480
menyelesaikan serangan pengalih keraguan di teritorial Spanyol di
Italia selatan, setelah tahun 1479 pasukan Turki
telah memasuki Friuli di Italia utara (dan kemudian 1499-1503). Kota
pelabuhan Apulia dari Otranto, berlokasi sekitar 100 kilometer tenggara
Brindisi, dikuasai dan diubah untuk digunakan sebagai kepala jembatan
bangsa Turks, namun diserahkan lagi tahun 1481, ketika Mehmed meninggal
dan Konstantinopel menyaksikan peperangan untuk takhta.
Cem, orang yang mendapat takhta Ottoman, dikalahkan di samping dukungan
paus dia melarikan diri dengan keluarganya Kerajaan Naples, di mana
keturunan laki-lakinya dianugerahkan dengan sebutan Principe de Sayd
oleh Paus tahun 1492. Mereka tinggal di Naples hingga abad ke-17 dan di
Sisilia hingga 1668 sebelum merelokasi ke Malta.
Hal ini menjadi perdebatan jika Otranto bermaksud untuk menjadikan
pasukan dalam pertempuran berikutnya. Sultan Ottoman tidak pernah
menyerahkan ambisi mereka untuk mengakhiri Kristen di Roma dan
menerapkan kedaulatan Islam.
Setelah pendudukan Ragusa (Dubrovnik) dan Hungaria tahun 1526 dan
kekalahan pasukan Turki di Vienna tahun 1529, pasukan Turki menyerang
kembali Italia selatan. Tahun 1512/1526 Ottoman menduduki Reggio dan
tahun 1537 bagian Calabria dan pada tahun 1538 mengalahkan Pasukan
Venesia. Tahun 1539 Nice dikepung oleh bangsa Barbaria (Pengepungan
Nice), namun percobaan penguasaan Turki di Sisilia gagal, seperti percobaan pendudukan Pantelleria tahun 1553 dan pengepungan Malta tahun 1565.
Kembalinya Umat Muslim Ke Italia
Invasi Islam pun dilakukan kembali ke negara itu, namun bukan lewat
peperangan. Tetapi lewat para pekerja, pedagang dan pelajar yang membawa
Syiar Islam. Sebagian besar dari mereka adalah imigran dari Afrika
utara, Albania, Bosnia, Turki, Arab dan dari negara Islam lainnya.
Kebanyakan mereka tinggal di pulau Sisilia, Roma, Milan, Turin dan
kota-kota besar lainnya. Bahkan Gelombang imigran muslim pun terus
bertambah dan mereka berbaur dengan masyarakat setempat.
Masjid dan Musholla bertumbuhan, organisasi Islam bermunculan dengan
sekolah Islam dan toko makanan halal mulai banyak berdiri. Jumlah Masjid
bertambah dari 16 menjadi 400 buah lebih hanya dalam jangka waktu 16
tahun. Syiar Islam pun menyebar dengan pesat. Bahkan berdiri masjid yang
megah, Masjid Agung Roma, atau yang biasa disebut “Grande Moschea
Masjid”.
Masjid ini menjadi simbol toleransi keberagamaan di Italia. Letaknya di
Basilica, Santo Paulus Roma, persisi bersebelahan dengan Vatikan dan
Sinagog Yahudi. Berdiri di atas lahan seluas 30 ribu meter persegi,
masjid yang menjadi kebanggaan umat Islam Italia bahkan dunia ini mampu
menampung sekitar 40.000 jama’ah. Lebih mengangumkan lagi, masjid ini
merupakan masjid terbesar di daratan Eropa. Keberadaan masjid di tengah
kota Roma itu tak terlepas dari jasa almarhum Raja Faisal bin Abdul Aziz
Al-Saud, pemimpin Arab Saudi, yang meminta kepada Presiden Giovanni
Leone, yang menjabat presiden Republik Italia ke-6 sejak tahun
1971-1978, untuk membangun masjid bagi umat Islam Roma.
Masjid Agung Roma disebut sebagai masjid terindah di Eropa. Dari kawasan
Lembah Tiber, masjid itu tampak menjulang tinggi menyaingi Montenne
Mountain, sebuah bukit yang sangat subur di utara kota Roma. Arsitek
terkenal Italia, Paolo Portoghesi, dipercaya mendesain masjid ini
setelah menyisihkan 40 arsitek lainnya, bersama arsitek Avio Mattiozzi
pada tahun 1975. Portoghesi juga dosen sejarah arsitek di Universitas
Roma.
Hanya dalam beberapa tahun saja jumlah pemeluk Islam di Italia meningkat
sampai dua kali lipat. Sangat mengejutkan karena ternyata Islam dapat
tumbuh dengan sangat pesat di negara yang sangat Katolik ini. Dan
sekarang Islam adalah agama terbesar kedua di Italia.
Bagaimana temans, wawasan tentang Islam kita bertambah lagi khan ? yang terpenting, dimanapun, Islam adalah rahmatan lilalamin....
***************************************************************
dishare dari :
al-fatih blogspot.com
hilmanmuchsin.blogspot.com
kota-islam.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar